Jumat, 27 April 2012

cerpen- SAD ANGEL

-Sad - angga_blc Sad_angel Dunia masih terlalu awal untuk dijadikan tempat pertarungan melawan kekejaman. Dunia belum siap untuk sesuatu yang besar, termasuk untuk memiliki pemikiran tentang arti sebuah keadilan. Ia masih terlalu muda. Ia tidak bisa melakukan apapun. Ia pasrah pada keadaan. Lemah, tak berdaya. Dunia selalu bersifat acuh pada setiap permasalahan. Mungkin itu hanya sebuah pengalihan perhatian atas ketakutan dunia untuk menerima kenyataan. Kenyataan bahwa ia belum siap untuk apapun. Jam menunjukkan pukul tiga sore. Vera masih menunggu dan masih menunggu. Sudah satu jam penantiannya. Menantikan sebuah bis untuk lewat di depannya. Wajahnya semakin pucat. Ia sudah tak sabar ingin segera pulang. Gadis putih mulus itu sudah kecapean membawa setumpukan tugas di dalam tasnya. Tugas-tugas itu berjejalan, berdesakan, dan memaksa untuk segera dikerjakan. Mereka seperti anjing-anjing yang menggonggongi majikannya sendiri. Membangkang. "Vera,,! Ayo,,! Aku antar, dari pada nungguin bis. Bisa kemalaman kamu,,". Ajak Sandi. "oh,, nggak usah, aku nggak nunggu bis, ibuku yang mau jemput". Vera berbohong. Ia tidak mau terlihat bersama-sama dengan seorang berandal bersepeda modifikasi nggak karuan. Itu bisa menjatuhkan harga dirinya. Meskipun bisa dibilang bahwa Sandi lumayan tampan dibandingkan teman-teman Vera di sekolah, tapi itu tidak bisa menutupi sifat premanismenya. "bener nih?? Nggak mau aku antar". Tanya Sandi sekali lagi. "iya,,". "ya udah, kalau gitu aku duluan ya,,". Sandi tersenyum. "iya,,". Vera juga membalasnya dengan senyuman. Sebuah senyum yang sangat dipaksakan. Membuat pipi-pipi manisnya kesakitan. Biarpun Sandi seorang berandal, Vera masih tetap menganggapnya sebagai seorang teman. Dan dia tak mau menyakiti hati seorang teman. Jadi ia korbankan bibirnya untuk tersenyum. Bis bertuliskan "Kurnia Abadi" berhenti di depannya. Hatinya lega. "akhirnya,, bisa pulang". Vera bersyukur. "eh,, adik ini,, pulang sore lagi ya,,?". Tanya sopir bis ramah. "iya pak,,". Jawab Vera. Bis itu sepi penumpang, hanya ada beberapa anak SMP dan beberapa mahasiswa yang mungkin saja baru selesai mengerjakan tugas kelompok. Bis yang ditumpangi Vera tampak hening. Tak tampak gairah semangat. Yang tampak hanyalah wajah-wajah lusuh orang-orang pemakai seragam sekolah. Bahkan ada yang tertidur. Pasti karena sangat kelelahan. Ia memandang jauh keluar jendela bis, mencoba menerawang apa yang ada di balik awan senja yang semakin menjadi malam. Membayangkan sebuah keajaiban terjadi di langit yang jauh itu. Seperti kemunculan seorang Superman untuk menggendongnya, membawanya pulang ke rumah dengan selamat. Tapi ia masih dalam batas kesadaran diri. Ia kembali behayal. Mencoba mengubah bentuk awan-awan menjadi seraut wajah pangeran tampan, yang menunggangi seekor Pegasus-kuda terbang dalam legenda Yunani-. Gagah dan perkasa. Tiba-tiba bis terguncang tak karuan. Ternyata sopir bis baru saja mengerem secara mendadak. Mengacaukan isi bis yang hanya terisi seperempat bagian. Seseorang bertanya, "ada apa?". Sopir bis tak menjawabnya. Ia tampak tertegun. Melihat sesuatu berada di depan bisnya. "mungkinkah ia menabrak seseorang??". Vera menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi. Ada sesuatu yang bersinar di depan bis. Cahaya biru muda. Entah apa itu. Orang-orang langsung menggerombol merangsek maju berusaha melihat apa yang disaksikan oleh sopir bis. "itu,, apa itu??". Seorang anak bertanya. "seperti sebuah kalung,,". Seorang lainnya menebak. "lihat,,! Benda itu bercahaya,,". Sahut seorang lainnya lagi. Vera hanya bisa melihat pantulan cahaya itu dari belakang. Tapi tiba-tiba rasa ingin tahunya muncul. Ia berusaha maju melewati orang-orang. Bis semakin terasa berat pada bagian depan. Setelah berhasil menyusup di antara para curious itu. Ia melongokkan kepalanya. Ia tertegun. Sebuah kalung seperti kristal, mengambang di udara, dan memancarka sinar biru yang sedikit menyilaukan mata. "wwaoow,,". Hanya itu kata yang bisa terlontar dari bibir manisnya saat melihat kejadian ajaib yang dilihatnya secara langsung. "ini bukan film kan,,?". Setelah beberapa saat. Liontin itu bergetar, seperti terguncang oleh sesuatu. Kemudian lenyap. "dik,, dik,, maaf dik, sudah sampai,,". Sopir bis membangunkan Vera dari tidurnya. Ia sangat lelah sampai-sampai ia tertidur. "eh,, o,, i,, iya pak,,". Kata Vera sambil menggosok-gosok matanya. Ia melangkahkan kaki keluar bis dengan sedikit terheran-heran. "ternyata mimpi, hanya mimpi. Tapi tampak begitu nyata". Ia terus memikirkan mimpinya di dalam bis itu. "aneh sekali,, padahal tak pernah sekali pun aku tertidur di tempat umum, ini baru pertama kali". Vera berceloteh sendiri sambil membuka pintu rumahnya. Rumahnya kosong. Kedua orang tuanya menginap di rumah pamannya untuk beberapa minggu. "ehh,, kembali sepi,, sendirian". Begitu pintu kamarnya terbuka, tas berat yang sudah lama menggantung di bahunya langsung dilemparkan tanpa ampun. Setelah itu ia bergegas ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya dari bau anyir sekolah, ia seperti pakaian kumal dan kotor berdebu. Ketika ia membuka bajunya, ia kaget, terperangah melihat apa yang terjadi padanya. Liontin yang ada pada mimpinya itu sudah tergantung di lehernya. Vera berjingkat, "apa ini??". Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Berusaha menguasai keadaan dengan tidak berpikiran macam-macam. Ia melepaskan liontin itu, dan menaruhnya di kamarnya, di bawah bantalnya. Lalu ia kembali ke kamar mandi untuk berbersih diri. Vera sudah bersih dan berbau wangi. Ia menghampiri liontin nyasar itu. Ia memperhatikan kalung itu dari segala penjuru, dan dari segala sisi. Benda itu bebentuk bulat keemasan dan terdapat gambar bunga mawar diatasnya. Dan tepat di tengah-tengah bunga mawar itu terdapat kristal biru. Vera berusaha membuka liontin itu. Tapi ia tidak mau terbuka. Akhirnya kalung itu disimpannya di laci. "sebaiknya aku tidur,,". "KRING,, KRIINNGG,, KRIIINNNGGG". Alarm berbunyi, tanda pagi sudah menjelma. Malam sudah terganti. Kini saatnya bangun dan menyambut hari yang cerah menyenangkan. Membantai seluruh tugas yang menghadang. Hari minggu bukanlah hari libur, tapi adalah hari peperangan melawan tumpukan-tumpukan kertas berisi soal-soal yang pada jaman dahulu selalu menjadi pertanyaan besar orang-orang secerdas Newton. "mengerikan,, tugas ini semakin mengerikan saja setiap minggunya,,". Vera menggerutu. Tapi itu memang sudah menjadi kebiasaannya setiap minggu. Ia bahkan sampai lupa pada liontin yang menarik hatinya kemarin. Konsentrasinya terpusat pada tugas-tugasnya. Sebenarnya ia sudah sangat frustasi. Tapi jika ia berhenti sekarang, sudah pasti ia akan dimangsa bu Ida. Guru itu sangat mengerikan. Bahkan orang yang baru pertama melihatnya pasti akan langsung keder. Ia sangat galak, lebih galak dari anjing yang menggonggong pada orang asing di luar pagar. Terlebih lagi jika ia tahu ada murid yang tidak mengerjakan tugasnya. Murid itu pasti akan binasa di tangan beliau. Bukan hanya mental yang akan diobrak-abrik bu Ida, tapi juga fisik. Biasanya para pelanggar akan disuruh lari mengitari lapangan sekolah lima kali. Hukuman ini benar-benar menghancurkan kaki-kaki mungil anak sekolahan. Mengerikan. Setidaknya Vera lumayan pandai di kelasnya. "eehh,, tugas selesai,, sekarang saatnya bersenang-senang,,". Kata Vera, ia sudah menghabiskan waktu selama tiga jam untuk tugas-tugasnya. Ia sudah merasa muak berada di hadapan kertas-kertas itu ia ingin segera pergi menemui temen-temannya. Mereka semua sekarang pasti sedang berkumpul di rumah Lia. Rumah Lia dijadikan sejenis markas untuk pertemanan mereka. Ia menaiki sepeda gunung warna merahnya. Berkecepatan tinggi. Melewati kerumunan mobil-mobil yang bertumpuk-tumpuk di perempatan lampu merah. Melewati para pedagang kaki lima yang berserakkan di pinggir jalan. Tapi terlihat aneh, tak seperti minggu-minggu biasanya. Jalanan tampak sangat hening. Jarang sekali terdengar ada percakapan. Ia tidak memperhatikannya. "Vera,,!" seseorang memanggilnya dari belakang. Suara seorang laki-laki. Vera langsung menghentikan laju sepedanya. Itu Sandi. "Vera,, mau kemana?? Sepertinya terburu-buru,,". Kata Sandi yang berdiri di sebuah halte bis. Entah apa yang sedang dilakukannya. "mau ke rumah Lia, kangen temen-temen,,". Jawab Vera. Setelah menjawab pertanyaan yang dianggapnya tidak penting itu ia kembali mengayuh sepedanya. Meninggalkan Sandi berdiri sendirian. Sampai larut malam ia bergurau dengan teman-temannya. Jika Vera sudah bertemu teman-tenanya, pasti ada saja yang dibicarakan. Apapun itu. Mereka tak mengenal waktu, apalagi jika yang mereka bicarakan adalah seorang lelaki tampan, pintar, and so pervect. Mereka semakin menggila. Gelak tawa masih terdengar meriah sampai jam sepuluh malam. Tapi orang tua Lia tidak marah atas hal itu. Mereka malah senang jika rumahnya tampak ramai. Karena memang biasanya tampak sepi. Beberapa teman Vera bahkan ada yang membawa baju ganti. Mereka berniat untuk menginap. Tapi Vera tidak bisa ikut menginap karena rumahnya tak boleh dibiarkan kosong tak berpenghuni. Itu sudah menjadi pesan orang tuanya. "prend,, aku mau pulang dulu, udah jam sebelas malam". Vera meminta izin ke teman-temannya. "iya, nggak apa-apa". "daah,,". Vera mengayuh sepedanya di bawah cahaya lampu jalanan. Sepi, hari sudah terlalu malam untuk dilalui gadis berumur tujuh belas tahun. Hanya ada suara angin malam yang dingin, membangunkan bulu-bulu di permukaan kulit. Bintang-bintang di langit bertebaran, seperti sebuah pasar malam dengan berbagai kemeriahannya yang tak dapat dijangkau oleh menusia-manusia bumi. Ketika sampai di depan rumahnya. Dalam dinginnya malam, Vera merasakan ada sesuatu yang menggantung di lehernya. Ia penasaran. Ia membuka satu kancing bajunya di pinggir jalan. "sudah malam, tidak akan ada yang melihat,,". Ternyata liontin berkristal itu lagi. "bagaimana mungkin,,?". Ia terperangah. Karena seingatnya liontin itu sudah ditaruhnya di dalam laci. Dan ia juga tak ingat sama sekali kalau memakainya. "ini aneh sekali". Gumam Vera. Liontin itu kembali bergetar, seperti dalam mimpinya. Semakin kuat guncangannya kalung itu. Tiba-tiba di langit terlihat suatu cahaya berwarna merah, merah menyala. Seperti sesuatu yang terbakar panas. Mungkin meteor. Benda itu jatuh tepat di depan Vera. Benda itu jatuh dengan sangat keras. Hingga Vera terdorong terkena hempasan benda asing itu. Asap debu mengepul mengitarinya. Terlihat sesuatu bergerak. "apa itu,,???". Vera penasaran. Dengan takut-takut ia mendekati sesuatu yang asing itu. Kepulan asap perlahan-lahan menghilang, tertiup angin malam. "itu,, itu apa, makhluk apa itu??". Vera bertanya-tanya. Makhluk itu berusaha berdiri, tapi ia terlalu kepayahan. Sepertinya pendaratannya yang tak mulus itu telah menghabiskan banyak tenaganya. "eh,, ehh,, ehhh,,". Hanya itu kata yang berhasil terucap dari bibirnya yang berdarah. Lalu ia kembali terjatuh. "apakah itu manusia??". Vera mendekatinya, perlahan namun pasti. Sekarang ia benar-benar yakin bahwa yang baru saja jatuh dari angkasa itu seorang lelaki, setidaknya seperti itulah bentuknya. Ia berambut putih pucat, dan matanya biru terang. Vera segera menghampiri lelaki yang tak berdaya itu. Lelaki itu berpakaian putih dan bercelana hitam. Pakaiannya polos tak bercorak. "sebaiknya aku segera membawanya pulang dan mengistirahatkannya, sepertinya ia sangat lemah,,". Ia membopong pemuda itu masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di kamar tidurnya. Setelah itu ia kembali keluar untuk mengambil sepedanya. "lubang bekas ia terjatuh cukup dalam juga ternyata, beruntung jika ia tidak mati,, tapi darimana asal orang ini,,?". Kata Vera sambil menyentuh tanah bekas lelaki asing itu terjatuh. Pemuda itu tak bergerak. Ada darah yang keluar dari dahi dan bibirnya. Melihat itu Vera panik. Tak tahu harus berbuat apa. Ia menyentuhkan jarinya ke bawah hidung pemuda asing itu untuk memastikan ia masih bernapas atau tidak. "celaka,, ia tidak bernapas,, bagaimana ini,,??". Vera kebingungan. Dengan terpaksa ia melakukan sebuah napas buatan. Perlahan ia mulai mendekatkan bibirnya. Jantungnya berdebar-debar. Karena baru pertama kali ia melakukan napas buatan. Terlebih lagi ini untuk lawan jenisnya. Untuk pemuda yang dapat dibilang lumayan tampan. Bibir mereka sudah saling menempel. Vera semakin tampak kacau. "aku,, aku berciuman, bagaimana kalau pemuda ini bangun,,??". Vera kebingungan. "biarlah,, ini kedaan darurat,,". Perlahan-lahan jari-jari lelaki itu bergerak. Matanya mulai terbuka. Vera kelabakan melihat pemuda itu terbangun. Ia segera melepaskan bibirnya dari pemuda itu. "ka,, kamu,, kamu nggak apa-apa,,??". Tanya Vera. Pemuda itu tak segera menjawab. Ia tampak kebingungan dan melihat kesana-kemari. Dan Vera masih menunggu jawabannya. Akhirnya bibir manis pemuda itu terlihat mulai akan bergerak. "a,, aku dimana,,??". Suaranya lirih. Suara itu sangat lembut. "ee,, kamu ada di rumahku, di kamarku,,". Jawab Vera. "hehh,,". Ia masih tampak kebingungan. Tanpa sebab yang jelas, liontin yang tergantung di leher Vera bergetar. Vera kaget. Ia pun langsung melepaskan liontin itu dari lehernya. Begitu melihat liontin itu, tiba-tiba pemuda itu kembali pingsan. "ada apa dengan pria ini,,??". Vera bertanya-tanya. Ia kembali memeriksa pernafasan pemuda itu. "ia masih bernapas, sebaiknya aku biarkan ia tidur di sini". Kemudian Vera meninggalkan pemuda itu, dan ke kamar lainnya bersiap untuk tidur. Matahari sudah bersinar. Menggugah setiap jiwa untuk menggapai semangat juang dari sinar sang mentari. Semakin tinggi matahari mengangkasa, semakin panas pula cahayanya. Tapi hari ini mentari telah kedahuluan Vera. Ia bangun pagi-pagi sekali. Ia penasaran pada lelaki asing itu. Tapi ternyata ia belum bangun dari tidurnya yang nampak nyenyak. Sampai Vera selesai mandi dan berganti baju, pemuda itu masih tetap terlelap. "padahal aku punya banyak pertanyaan yang infinn kuajukan untuknya,,". Kata Vera kecewa. Ia sangat penasaran pada pemuda tampan itu, lebih tepatnya manis. Vera pergi ke sekolah meninggalkan pemuda tak bernama itu. Melangkahkan kaki ke tempat yang sunyi orang bodoh. Meninggalkan rasa keingin tahuan yang besar bersama pria asing yang tertidur lelap di kamarnya. "lumayan imut". Vera bergumam sendiri. Sepertinya ia tertarik pada pria itu. "Vera, kenapa matamu, kok merah,,?". Tanya Lia. "oh,, e,, aku kurang tidur semalam". Jawab Vera. "kamu masih mending kurang tidur. Tadi malem, temen-temen yang nginap nggak tidur semalaman". "kalau itu sich aku sudah nggak kaget lagi". Kata Vera. Lia melihat sesuatu, sebuah kalung yang dipakai Vera. "hei, kamu punya perhiasan baru ya,,?". Lia menggerak-gerakkan alisnya. "oh,, bukan,,". Vera mengelak. "siapa yang ngasih,,?". "emm,,". "cowok baru ya,,?". Lia memberondong pertanyaan. "eh, eh,,". Vera kesulitan menjawab seberondong pertanyaan itu."bukan cowok baru,, kalung ini aku dapat nemuin di laci". Vera berbohong. Ia yakin kalau ia bercerita yang sebenarnya, ia pasti akan dianggap kurang waras. "halah,, ngelez mulu,". Lia menyerang kembali. "nggak percayaan banget sich,,". Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Menerawang jauh ke angkasa. Menyusupi tirai-tirai awan tebal yang membal. "KRING,, KRIINNGG,, KRIIINNNGGG". Bel sekolah berbunyi. Saat pulang telah tiba. Saat yang paling ditunggu oleh para pemalas kepintaran. Bel penanda sudah tiba saat untuk meninggalkan kesibukan membosankan. Kembali Vera berdiri menanti bis di halte. Berharap akan terjadi sesuatu yang luar biasa akan terjadi di harinya yang membosankan. Seperti jatuhnya pemuda yang sekarang mungkin masih tertidur di kamarnya. Tertidur seperti bayi kecil imut dan menunggu ibunya pulang. Jika ibunya telah tiba dirumah, ia nethek. Lagi-lagi Vera memandangi langit. Itu sudah menjadi kegemarannya di saat melamun. Bermain-main dengan pikiran dan awan putih tebal. Angin berhembus dengan kencang, meniupkan dingin ke leher para young lovers. Di langit tiba-tiba datang selimut awan hitam pekat. Disusul petir yang menyambar-nyambar di sana-sini. Keadaan menjadi sangat aneh. Udara juga menjadi sulit dihirup, mereka sedikit lembab. Orang-orang berjatuhan, seperti tertidur. Seperti ada yang menarik nyawa mereka untuk keluar secara berderet-deret. Tapi Vera masih berdiri. Berdiri sendirian di tengah gelimpangan-gelimpangan manusia yang entah apa sebabnya mereka berjatuhan. "ada apa ini,,?". Vera bertanya-tanya. "kenapa dengan orang-orang ini,,?". Vera semakin bingung dengan keadaan sekitarnya yang kian aneh. Ada sesuatu yang melayang di langit. Ia semakin membelalakkan matanya ke arah sesuatu yang ada di langit itu. Benda itu bersayap. "burung,,?". Benda itu mendekat dan mendekat ke arah Vera berdiri. "ha,,? Perempuan,,? Mungkinkah,,?". Vera tidak hanya kebingungan, tapi juga mulai ketakutan. Sekarang wanita itu sudah berada di depan Vera. Wajahnya cantik, rambutnya panjang berwarna biru terang, bibirnya kecil berwarna merah muda, dan kedua matanya berwarna biru menawan. Ia berpakaian putih tipis agak menerawang, dan dia memiliki sepasang sayap di punggungnya. Wanita itu melihat kalung yang dipakai Vera. Ia menunjuknya, isyarat untuk menyerahkan kalung itu padanya. Vera mengerti. Ia melepaskan kalung yang tadi bertengger di lehernya. Ia hendak menyerehkan kalung itu pada wanita atau mungkin bidadari yang melayang ringan di depannya. "JANGAN, JANGAN SERAHKAN LIONTIN ITU,,!". terdengar suara pria menggelegar dari arah belakang Vera. Seseorang sedang berlari ke arahnya. Itu pemuda yang ia selamatkan tadi malam. "dia,, apa,, ada apa ini,,?". Vera kebingungan. Ia menarik kembali kalung itu sebelum wanita di depannya menyentuhnya. Wanita itu melihat ke arah pemuda asing di belakang Vera."Agito,,!". Kata wanita itu pelan. Sekarang Vera tahu, pemuda asing itu bernama Agito. "Vera, jangan serahkan liontin itu pada Kyo,,!". Agito memekik. "Kyo,,?". Katanya lirih. "nama wanita bersayap ini Kyo,,?". "apa yang kau lakukan Agito,,?". Kyo juga berteriak. "berusaha mengbinasakan kejahatan, membinasakanmu,,!". wujud wanita itu berubah. Wajahnya menghitam, rambut dan matanya merah. Sayapnya menghitam, serta tumbuh ekor dan taring. Ia menjadi sangat menakutkan. Ia berubah menjadi seekor monster. Wanita itu terbang berkecepatan tinggi kearah Agito. Secepat kilat Kyo sudah berada di belakang Agito. Ia menendang punggung Agito sekeras-kerasnya. Pemuda itu terhempas sangat jauh, dekat dengan Vera yang berdiri kebingungan. Vera berlari ke arah Agito. Berharap Agito akan baik-baik saja. "Agi,, Agito,,! Kau baik-baik saja?". "ya,, aku baik,, sebaiknya kau menjauh dari tempat ini, amankan liontin itu,,!". Perintah Agito. "aku akan berusaha melawannya,,". "ba,, baik,,". Vera berlari menjauh. Tiba-tiba Agito berdiri. Ia seperti menahan sakit di punggungnya. Ada sesuatu di balik bajunya yang bergerak-gerak berusaha untuk keluar. Sepasang sayap putih keluar dari belakang punggungnya merobek bajunya. Ia juga mengacungkan tangan kanannya ke angkasa. Dan sebilah pedang besar jatuh dari langit tepat ke arah tangannya. Sekarang ia sudah seperti seorang petarung legenda mitologi Mesir. Agito melompat setinggi mungkin dan mulai mengepakkan sayapnya. Mereka berdua bertarung, saling memberikan pukulan, tendangan, sabetan pedang dan ilmu-ilmu semacam tenaga dalam atau mungkin sihir. Ledakan-ledakan besar terjadi di sana-sini. "sebenarnya makhluk apa mereka ini,,?". Kata Vera sambil menonton pertarungan hebat itu dari kejauhan. Ini adalah pertarungan mati-matian. Mereka berdua sudah sama-sama berdarah hebat. Tapi masih belum ada yang mau mengalah. Wanita itu kembali berdiri. Berusaha menegakkan kakinya yang terkulai lemas. Mencoba mengepakkan sayapnya. Ia kembali beraksi. Kyo terbang ke arah Agito. Ia siap mengayunkan pedangnya dengan kekuatan penuh. Agito masih belum tersadar seratus persen. Ia sudah kepayahan. Kyo sudah berada tepat di depan Agito. "chiya,, matilah kau,, bedebah,,!". Kyo berteriak. "AGITO,,!". Vera memekik. Mata Agito terbuka. "chiyaa,,,!". Agito membanting pedang katananya menghalau serangan Kyo. Ia selamat untuk saat ini. Keduanya saling terlempar jauh. "kau,,! Menyebalkan". Kyo memekik. "sudah terlalu lama aku bermain-main, akan segera aku selesaikan,,". Kata Agito. "jangan banyak bicara,,". Agito melakukan semacam gerakan yang sulit dideskripsikan. Setelah itu ia berusaha mengangkat pedang besarnya. Ia mengayunkan pedangnya dengan seluruh tenaga terakhir yang ia miliki. Hempasannya sangat kuat. Kyo yang terkulai tak berdaya berada tepat didepannya. Ia tak bisa menghindari serangan itu. "SSSSSHHDUAAAARRRRRRRR,,,!". Tempat itu meledak dengan sangat hebat. Seperti terkena bom nuklir. Dari balik kepulan asap itu muncul bayangan hitam. Itu adalah jelmaan Kyo. Bayangan itu melayang-layang di angkasa. "Agito,,! Tunggu pembalasanku, ini belum berakhir,,! Suatu saat aku akan medapatkan liontin itu, lalu akan kuhancurkan Virgon". Teriak Kyo. Bayangan itu melayang semakin tinggi dan semakin tinggi sampai akhirnya ia menghilang. Vera berlari ke arah Agito. Ia ingin menanyakan banyak hal yang sudah menggenggunya sangat lama. "Agito,, sebenarnya apa yang sebenarnya terjadi,,? Apa itu Virgon?". Tanya Vera. "semakin sedikit yang kau ketahui, itu akan semakin baik, yang penting jagalah liontin itu. Jangan sampai liontin itu berada di tangan orang lain. Pada siapapun juga, jangan pernah. Demi keselamatanmu". Wajah Agito tampak sedikit sendu. Setelah berkata seperti itu Agito mengepakkan sayapnya, meninggalkan Vera bersama liontin dan rasa penasaran yang tinggi. Ia terbang jauh tinggi ke angkasa yang kuas. Ia lenyap. Langit kembali menjadi cerah. Orang-orang terbangun dari tidurnya. Bekas-bekas pertarungan itu menghilang tanpa jejak. Semua kembali normal. Aneh, orang-orang berperilaku seperti biasa. Seperti tak terjadi apa-apa. "apakah ini mimpi? Tapi liontinnya masih aku genggam,,?" Kini Vera merasa sangat bingung. Dari kejadian itu hanya liontin itulah yang tersisa. "hanya benda ini, saksi bisu tentang seluruh kejadian aneh hari ini". Kini Vera memiliki banyak bahan untuk ia pikirkan. Dan untuk dicari kebenarannya. Semuanya adalah misteri. Mungkin misteri yang takkan pernah ada jawabannya. Dunia ini memang aneh, sulit membedakan yang benar dan yang salah. Pengarang: Angga_BLC- 16 thn 11, juni 1995