Jumat, 27 Januari 2012

drama

Ketika hujan turun
Adegan I:
          Di rumah: panggung pertunjukkan menggambarkan ruang tengah sebuah rumah yang sederhana dan kecil. Ada beberapa kursi kayu dan satu meja kecil bersandingan dengan tembok. Didalam ruangan ini terdapat tiga orang, satu laki-laki dan satu perempuan sebagai orang tua, serta satu laki-laki lagi sebagaianak. Dengan waktu sekitar ba’da ashar.
Bu Wage:   Yatno sudah besar. Apalagi inikan malam minggu. Mungkin dia punya  acara dengan teman-temannya. Atau mungkin dia sudah pacaran, pak. (dengan nada sedikit memanja berjalan kea rah Pak Wage).
Pak Wage:  Apalagi untuk pacaran. Kalau mau pacaran kerja dulu. Biar dia tidak minta uang pada bapaknya. Orang miskin kok pacaran. Dasar bocah nakal. (berjalan menghindari Bu Wage).
Bu Wage:   Tapi, kan sudah besar. Sudah wajar. Apa nggak boleh orang melarat pacaran? (ngeyel)
Pak Wage:  Tidak,,tidak,,tidak! (semakin keras) pokoknya tidak! Apalagi untuk pacaran. Aku (jeda) narik becak bukan untuk orang pacaran. Pokoknya tidak! Titik! (wajah Pak Wage memerah)
            Narrator:
Bu Wage yang mengalah bergegas meninggalkan Pak Wage. Lalu ia membawa ayam ke tetangga sebelahuntuk dijual. Lalu uang hasil penjualan itu diberikannya kepada Yatno. Setelah mendapatkan apa yang dia mau, Yatno pun segera pergi dengan dandanan yang rapid an sedikit bau wangi. Ketika Pak Wage tetap diam saat tahu ayamnya hilang seekor.
Hari menjelang maghrib, Pak Wage yang akan pergi mengayuh becak tidak menghiraukan Bu Wage yang sedang duduk-duduk menambal baju.
Pak Wage:            Dari pada cuma berdiam diri di rumah, lebih baik aku narik becak. (diucapkan dengan pelan dan wajah tanpa ekspresi)
Adegan II:
          Di serambi gedung bioskop: panggung menunjukkan di depan sebuah gedung yang di tengahnya terdapat lorong dengan tempat duduk berjajar-jajar disampingnya. Di ujunglorong terdapat sebuah jam, dan di dinding-dindingnya terdapat poster-poster film. Serta terdapat pos keamanan di bagian luar lorong.
                 Narrator:
Dan hujan pun mulai turun, di malam yang semakin larut. Seperti para tukang becak lainnya Pak Wage yang duduk-duduk di dalam becak, menunggu para penumpang keluar dari gedung bioskop, dengan ditemani sebatang rokok. Di saat hujan seperti ini, sebatang rokok terasa sangat berharga. Ia menimbang-nimbang rokok keduanya karena rokok pertamanya telah gabis.
Pak Wage:            Yah,,, hujan turun semakin deras saja.
Narrator:
Melihat beberapa tukang becak telah masuk ke ruang tunggu bioskop. Pak Wage pun ikut turun dan memasang tirai plastic di becaknya lalu ia berlari ke gedung bioskop. Ia dan beberapa tukang becak lain mondar-mandir melihat poster film. Harga karcis terasa begitu mahal untuk ukuran tukang becak
Pak Wage:  Hmmm,, kapan aku bias menonton film di bioskop ini?? Ahh,, masih baik aku bias melihat posternya.
Narrator:
Pintu teater satu dan tiga terbuka. Para penonton berduyun-duyun keluar. Terjadi tawar-menawar singkat. Tak ada yang tak kebagian penumpang. Masih ada teater dua dan empat yang belum bubar.
Tiga kali adegan Pak Wage mengantar penumpang.
Sudah tiga kali Pak Wage mengantar penumpang. Masih ada teater dua dan empat yang belum bubar.
Pak Wage:  Masih ada dua teater yang belum bubar,, berarti masih ada beberapa lembar ribuan yang akan masuk kantong. Aku harus bergegas,, (sambil mempercepat laju becaknya).
Sampailah Pak Wage di gedung bioskop lagi.
Pak Wage:  Becak mas,,? Kemana sih? (lansung bertanya).
Seorang:     Jalan Jal’an mas,,
Pak Wage:  Empat ribu saja mas.
Narrator:
Tanpa menawar, pasangan tersebut langsung naik. Setelah selesai mengantar pasangan itu Pak Wage berniat pulang. Tetapi hatinya masih ingin kembali ke gedung bioskop itu.
Di depan bioskop.
Si Gadis:             Ayo pulang,,!
Yatno:        Nanti saja kalau hujannya reda.
Si Gadis:             Sampai kapan?
Pak Wage tiba.
Si Gadis:             Itu becaknya sudah dating. Kalau mas nggak punya uang biar aku yang bayar (sambil menarik tangan Yatno ke arah Pak Wage)
Narrator:
Dengan sigap Pak Wage langsung membuka tirai plastic becaknya, dan pasangan itu langsung melompat ke dalam becak.
Pak Wage:  (sekilas melihat wajah pasangan itu). Yatno,,! (dengan bergumam, ia segera menguasai diri)
Si Gadis:    Kok diam saja mas?
Yatno:        Eggak apa-apa. (kikuk)
Si Gadis:    Marah yam as?
Yatno:        Enggak. (kikuk)
Si Gadis:    Ya jangan diam gitu dong,,!
Narrator:
Sambil mengayuh becak, Pak Wage tersenyum, ada perasaan bangga, namun ada kepedihan menusuk ketika melihat Yatno tidak mengenali bapaknya sendiri. Mungkin ia malu punya bapak tukang becak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar